Tulisan Koran

Posted on May 10, 2007. Filed under: Tulisan Koran |

Uji Coba Pemerintah dengan Kebijakan BLT

Tulisan ini tulisan lain yang diterbitkan oleh Media Indonesia dengan judulnya “Sulitnya menjadi Sinterklas”. Tulisan ini berisi pendapat saya tentang kesulitan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam PKPS BBM.

Selamat menikmati,

syarif syahrial

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Posted on May 10, 2007. Filed under: Tulisan Koran |

Bantuan Langsung Tunai dan Dilematika Pendataan Rumah Tangga Miskin

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi saya dalam Harian Media Indonesia. Secara umum, tulisan ini berisi tentang sulitnya pendataan rumah tangga miskin berkaitan dengan adanya program pemerintah berkaitan dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM. Selamat menikmati.

Salam,

syarif syahrial

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Protokol Kyoto dan Mekanisme Pembangunan Bersih

Posted on May 10, 2007. Filed under: Tulisan Koran |

Seperti ditulis dalam Kompas 1 Juli 2004 (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0407/01/humaniora/1120554.htm)

PLANET Bumi kini berbeban berat karena pemanasan global menyebabkan perubahan iklim. Karena itu berbagai negara berupaya membuat kerangka kerja tentang perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change).

Indonesia telah meratifikasi UNFCC 1994. Secara umum konvensi berupaya menstabilkan temperatur global untuk menghindari dampak buruk. Kemudian, 1997, Protokol Kyoto disetujui bersama sebagai mekanisme mereduksi emisi gas rumah kaca.

Protokol Kyoto akan berlaku apabila telah diratifikasi 55 negara dan mewakili 55 persen emisi negara Annex I tahun 1990. Hingga April 2004, 122 dari 134 negara telah meratifikasi, yang mewakili 44,2% emisi dunia. DPR baru-baru ini juga telah menyetujui ratifikasi Protokol Kyoto yang kini tinggal menunggu tanda tangan presiden.

Protokol Kyoto hanya mewajibkan negara maju (negara Annex I) untuk mengurangi tingkat emisinya. Sedangkan negara berkembang (non-Annex I termasuk Indonesia), tidak diwajibkan.

Protokol Kyoto menetapkan tiga mekanisme utama dalam implementasinya, yaitu (a) Implementasi Bersama (Joint Implementation) yang merupakan kerja sama antarnegara-negara Annex I; (b) CDM (Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih/MPB), di mana negara Annex I berinvestasi di negara non-Annex I untuk proyek- proyek yang menghasilkan Pengurangan Emisi yang Tersertifikasi (Certified Emission Reduction/CER); serta (c) Perdagangan Emisi di mana negara maju menjual gas rumah kaca yang tidak diemisikan ke negara maju lain yang tidak dapat memenuhi kewajiban.

Dari paragraf di atas tampak bahwa peluang Indonesia untuk mendapatkan dana dalam pengurangan emisi adalah melalui proyek-proyek MPB. Bagaimanakah sebenarnya potensi realisasi proyek-proyek MPB?

Potensi MPB

Meski pada praktiknya proyek MPB prosesnya sangat sulit dan panjang untuk didapatkan, potensi pasar MPB di Indonesia sebenarnya sangat besar dibanding negara-negara ASEAN lainnya.

Simulasi Jotzo dan Michaelowa (2003) menyatakan Indonesia memiliki potensi pasar CDM 3% dari potensi pasar dunia atau setara dengan 125 juta ton karbon. Beberapa pakar lain bahkan memprediksi potensi pasar Indonesia dapat mencapai 5% pasar, setara dengan 125-300 juta ton CO2 atau 81,5-1.260 juta dollar AS dalam periode komitmen pertama dari Protokol Kyoto.

Berdasarkan National Strategy Study (NSS), emisi CO2 tertinggi berada pada sektor yang berhubungan dengan energi (terdiri dari industri energi, industri pengolahan, transportasi dan penggunaan rumah tangga/komersial) yaitu 55-77% total emisi domestik, kemudian Penggunaan Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan serta Kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry/LULUCF) 11-13%, dan terakhir sektor pertanian 13%.

Sektor energi

Besarnya emisi di sektor energi menggambarkan besarnya potensi sektor energi sebagai penerima proyek MPB. Masalah ratifikasi dari sisi energi terletak pada dampaknya terhadap perekonomian makro domestik, karena pemanfaatan energi per kapita rendah dan konsumsi energi dari bahan bakar fosil per rupiah masih tinggi.

Hasil simulasi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) 2003 menggunakan Tabel Input-Output tahun 2000 dan diskusi penulis dengan Widjono Soetjipto dari LPEM FEUI menunjukkan bahwa ratifikasi Protokol Kyoto berpengaruh kecil terhadap perekonomian nasional. Penyebabnya terutama Indonesia sebagai negara berkembang tidak diwajibkan mengurangi emisi CO2 setidak-tidaknya pada periode komitmen pertama dalam implementasi Protokol Kyoto.

Maka pilihan untuk meratifikasi Protokol Kyoto bukan- lah sesuatu yang merugikan. Indonesia bahkan dimungkinkan untuk memanfaatkan dana dari proyek MPB untuk mengurangi tingkat emisinya.

Namun demikian, terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, Indonesia tidak secara otomatis berhak (eligible) memperoleh dana MPB. Kelayakan proyek tetap menjadi acuan dalam mengalokasikan dana MPB.

Kedua, harga untuk CER saat ini, 3-7 dollar AS, jauh lebih kecil dari perkiraan harga semula yang layak, yaitu 10-25 dollar AS, bahkan jika dibandingkan dengan harga di negara Annex I yang 100 dollar AS. Harga yang rendah itu hanya berpengaruh kecil terhadap kelayakan (peningkatan IRR) proyek energi sehingga tidak menarik para investor.

Ketiga, kesiapan kelembagaan yang berhubungan dengan prosedur aplikasi dan persetujuan bagi proyek-proyek berbasis MPB di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang lebih dahulu meratifikasi.

Keempat, pengalaman awal pelaksanaan proyek berbasis MPB menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk konsultansi yang umumnya dilakukan oleh pihak asing sangat besar. Sehingga penting sekali membangun kapasitas (capacity building) lokal agar domestik yang memanfaatkan.

Kelima, ketegasan pemerintah diperlukan dalam menetapkan siapa penerima manfaat dari proyek MPB. Pengusaha ingin agar manfaat tersebut diterima pengembang (developer) sebagai insentif untuk mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan. Pihak lainnya menginginkan agar manfaat tersebut dapat diterima oleh penduduk lokal.

Hal utama yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan aspek kelembagaan seperti Designated National Authority (DNA) yang bersifat lintas sektoral; Domestik Operational Entity (DO) agar manfaat MPB dapat lebih dinikmati; mengembangkan prosedur aplikasi dan persetujuan proyek-proyek MPB untuk mengurangi biaya transaksi; mengembangkan kriteria pembangunan berkelanjutan; serta menyatakan siapa penerima manfaat proyek MPB. Untuk mengantisipasi kegagalan, pemerintah harus mempersiapkan perencanaan pengembangan sektor energi jangka panjang dengan peningkatan efisiensi energi, peningkatan pemanfaatan bahan bakar fosil yang relatif bersih (clean fossil fuel), dan peningkatan kontribusi energi terbarukan.

Sisi politis

Perlu dicatat pula bahwa pada akhirnya keputusan untuk meratifikasi Protokol Kyoto tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi semata. Dari sisi politis, kebersamaan dengan negara-negara berkembang untuk memperjuangkan kepentingan bersama dalam mengatasi pemanasan global perlu memperoleh perhatian.

Dengan segala pertimbangan itu, tampaknya presiden tak perlu ragu-ragu lagi menandatangani ratifikasi. Selain tidak diwajibkan menurunkan emisi, Pemerintah Indonesia juga berhak untuk keluar dari ratifikasi jika pada periode komitmen kedua Indonesia wajib menurunkan emisinya.

Secara makro-ekonomi, dampak ratifikasi ini cenderung dapat diabaikan. Ratifikasi ini juga akan dapat berdampak positif terhadap Indonesia dengan adanya insentif penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan, terjadinya efisiensi penggunaan energi serta mendorong lebih jauh energi mix di Indonesia dengan memperbesar penggunaan energi yang terbarukan yang relatif ramah lingkungan.

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tajuk Rencana Kompas: Kita Dukung Ratifikasi Protocol Kyoto

Posted on May 10, 2007. Filed under: Tulisan Koran |

Seperti ditulis dalam Kompas 2 Juli 2004
(http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0407/02/opini/1125622.htm)

FAHAM “Hanya Satu Bumi”, Bumi sebagai habitat bersama yang harus sama-sama dijaga oleh seluruh umat manusia, tampaknya kini semakin disadari oleh banyak orang. Tentu, di sana-sini masih banyak pula perusak lingkungan, tetapi secara kolektif umat manusia semakin menyadari pentingnya upaya bersama untuk melestarikan Bumi.

Menyadari betapa Bumi semakin berat memikul beban akibat aktivitas hidup dan terutama industri yang dijalankan manusia, sejumlah langkah telah coba dilakukan. Ulasan hari ini ingin menyoroti secara khusus upaya untuk menanggulangi proses pemanasan global yang gejalanya telah diamati dan dirasakan, dan yang apabila tidak ditangani secara bersama dan sungguh-sungguh pada satu saat kelak bisa menamatkan riwayat kehidupan.

Menyusul Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992, lahirlah Konvensi Dasar Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) yang ditandatangani oleh 154 negara. Indonesia menandatangani konvensi yang ditujukan untuk menstabilkan suhu global ini pada tahun 1994.

Kemudian pada tahun 1997 lahir Protokol Kyoto yang menjadi kesepakatan bersama untuk menjalankan mekanisme pengurangan pancaran (emisi) gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida (CO>sub<2>res<>res<), yang dipandang sebagai aktor utama penyebab pemanasan global.

MENGAPA kita harus merisaukan naiknya suhu global? Sebagian mungkin masih berkeyakinan, Bumi punya mekanisme sendiri untuk mendapatkan keseimbangan baru.

Namun, fakta sudah jelas, bahwa kalau laju emisi gas CO>sub<2 >res<>res

Akibat lelehnya es kutub tersebut, permukaan air laut di dunia meninggi, dan banyak negara akan kebanjiran, serta tidak sedikit pula yang harus mengubah garis batasnya karena perubahan garis pantai.

Menyimak kemungkinan seperti ini, kita jelas punya kepentingan besar untuk berkontribusi untuk mengerem laju pemanasan global yang dampak nyatanya-kalau tidak ada upaya serius untuk menghambatnya-akan dirasakan beberapa generasi ke depan.

PROTOKOL Kyoto yang dimaksudkan untuk mengurangi pancaran gas-gas rumah kaca, yang memicu pemanasan global tadi, sayangnya hanya bisa diberlakukan kalau telah diratifikasi oleh sedikitnya 55 dari 154 negara yang menandatanganinya. Masih ada tambahannya, yaitu ke-55 negara tersebut mewakili 55 persen seluruh emisi yang dipancarkan pada tahun 1990.

Sebagaimana dituliskan oleh peneliti dari Universitas Indonesia, Syarif Syahrial, di harian ini Kamis kemarin, sampai April 2004 sudah ada 122 negara yang telah meratifikasi dan mereka mewakili 44,2 persen emisi dunia. DPR RI hari Senin (28/6) lalu telah menyetujui ratifikasi Protokol Kyoto dan selanjutnya menunggu tanda tangan Presiden RI untuk menjadikannya sebagai ratifikasi resmi Indonesia.

Dalam hal ini presiden juga tidak perlu ragu-ragu untuk menandatanganinya karena secara keseluruhan ratifikasi memberi nilai positif bagi Indonesia. Bisa saja orang secara langsung menanyakan apa manfaat yang bisa diraih Indonesia dengan menandatangani Protokol Kyoto.

Menurut apa yang terkandung dalam Protokol Kyoto, Indonesia bisa mendapatkan dana dalam pengurangan emisi, dalam hal ini melalui proyek-proyek Mekanisme Pembangunan Bersih. Disebutkan, Indonesia punya potensi mendapatkan 3-5 persen pasar dunia.

LEBIH luhur daripada sekadar pertimbangan ekonomi, meratifikasi Protokol Kyoto memiliki landasan politik dan moril. Secara politik, ketika sejumlah negara besar-khususnya Amerika Serikat yang merupakan penyumbang besar emisi karbon>res<>res< dioksida-masih keberatan meratifikasi karena berbagai pertimbangan ekonomi, kesertaan Indonesia bersama negara-negara berkembang lain untuk meratifikasi bisa menjadi satu platform bagi kebersamaan untuk memperjuangkan upaya penanggulangan pemanasan global, dan dengan itu mungkin juga untuk isu-isu global lain.

Dengan memasukkan Protokol Kyoto dalam agenda pembangunan nasional, Indonesia juga akan dipacu untuk mengembangkan energi alternatif dan khususnya yang terbarukan. Dengan demikian, udara Indonesia yang sekarang sudah sering disebut banyak kena polusi parah selanjutnya bisa diperbaiki kualitasnya.

Lalu, kalaupun menurut pertimbangan ekonomi dalam periode komitmen kedua Protokol Kyoto Indonesia menemukan keberatan tertentu, kita bisa saja keluar dari ratifikasi.

ATAS dasar itulah kita sekarang ini mendukung kebijakan meratifikasi Protokol Kyoto, terutama demi terjaganya kelestarian lingkungan global yang menjadi kepentingan seluruh umat manusia.

Debat Presiden di Panggung Terbuka

Acara debat publik antara pasangan para capres dan cawapres dimulai lewat siaran televisi langsung oleh Megawati-Hasyim Muzadi dan Amien Rais-Siswono hari Rabu malam. Berbagai kesan dan komentar bisa ditarik dari pengamat debat publik yang baru pertama kali itu. Satu di antaranya kita tarik kali ini.

Atas pertanyaan, bagaimana sikap kedua pasangan terhadap Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi pembelian helikopter seharga Rp 12 miliar, kedua pasangan capres-cawapres menjawab: agar dinon-aktifkan sebagai Gubernur/Penguasa Darurat Sipil Provinsi Nanggroe Aceh dan perkaranya dituntaskan secara hukum.

Pasangan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo sudah dapat diperkirakan lebih jelas, tegas, dan cerdas dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Namun, dalam perkara Gubernur Abdullah Puteh, Megawati-Hasyim pun cukup jelas dan tegas. Kedua pasangan setuju, Gubernur dinon- aktifkan dan perkaranya dituntaskan secara hukum. Yang kita persoalkan, seberapa jauh jawaban dan pernyataan tegas itu juga dipengaruhi oleh forumnya, yakni debat publik yang langsung lagi terbuka sebagai bagian kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden.

Bukan terbuka lewat siaran langsung televisi, tetapi karena pentingnya acara tersebut, debat itu diikuti dan ditonton langsung oleh publik. Keterbukaan mempunyai efek dan dampak khusus. Karena itu, salah satu syarat penyelenggaraan kekuasaan pemerintah secara bersih adalah transparansi. Lewat forum debat siaran langsung televisi, transparansi atau keterbukaan itu yang luar biasa daya tarik dan dampaknya. Ditonton bersama, diikuti pasang surut ketegangannya. Ibaratnya, mana mungkin dan bagaimana mungkin mengelak. Bagaimana mungkin tidak menjawab secara jelas dan tegas.

Demikianlah kita menyaksikan lewat debat publik pasangan capres dan cawapres itu, arti, pengaruh, serta efektivitas dampak keterbukaan. Untuk ulasan ini, sosok serta kenyataan itulah yang kita angkat sebagai bahan komentar. Secara kebetulan, ada soal dan kasus lain yang juga dipaparkan media massa, khususnya lewat televisi secara terbuka, kasatmata, kasattelinga, kasatrasa, sehingga juga amat besar impresi, makna, dan pengaruhnya.

SEBAGAI contoh, kita angkat dua kejadian. Pembakaran hutan. Ketika hutan dibakar di beberapa lokasi Sumatera dan Kalimantan, peristiwa pembakaran hutan itu tidak tampak. Media cetak maupun elektronik tidak berhasil meliput dan menyiarkan secara langsung dan secara konkret para pembakar hutan. Namun justru itulah persoalan yang akan kita angkat. Justru itulah fokus kita.

Karena kejadian itu, gangguannya meluas sampai ke negara-negara tetangga, bertambah besarlah perhatian kita. Kita juga gemes, tersinggung, dan berang, mengapa kejadian itu, pembakaran hutan itu, terulang setiap tahun.

Agak lega ketika dari Riau diberitakan pemerintah setempat berhasil mengidentifikasi beberapa pelaku pembakaran dan pengusaha hutan yang berada di belakangnya. Namun, masih samar-samar dan sosoknya belum ditampilkan lewat panggung terbuka media, terutama media televisi. Kita pun geregetan hati dan penasaran. Asapnya tampak, titik-titik api pembakaran dikenali meski hanya oleh dinas meteorologi, akibatnya tampak dan dirasakan, yakni terganggunya penerbangan, lalu lintas, kesehatan, dan nama baik negara terhadap tetangga. Kita gemes, mengapa tidak atau belum setransparan itu usaha dan tindakan terhadap para pelaku berikut aktor intelektualnya.

>newarea 1<

ADA kasus lain lagi yang tidak kalah dramatis. Sebutlah penyelundupan gula atau impor gula pasir. Oleh media dan lagi-lagi secara dramatis oleh televisi, timbunan karung ribuan ton gula tampak menumpuk dan menggunung di gudang-gudang. Gudang-gudang di Pulau Jawa sampai di Kalimantan sampai di Nusa Tenggara Timur. Termasuk oleh para pejabat diakui dan dinyatakan impor gula itu ilegal, penyelundupan. Kemudian agak berlangsung antiklimaks, yakni ketika diumumkan, cara alias modus penyelundupan itu dengan memalsu dokumen. Sosok dokumen palsu pasti lain dengan sosok orang, apalagi mereka yang merencanakannya dari belakang.

Toh drama kejadian itu tidak surut, justru semakin memuncak. Bayangkan, gula yang dinyatakan dan diakui sebagai impor ilegal atau penyelundupan itu tampak jelas bergelimpangan dan bertumpuk-tumpuk di gudang, di beberapa gudang, dan di beberapa kota serta pulau. Hasil penyelundupannya nyata. Bahkan diakui bahwa gula itu diselundupkan dengan melanggar hukum, tentu saja.

Bukti tindakan kriminalnya nyata, dalam sosok berton- ton gula. Diakui tumpukan gula itu hasil impor ilegal yang adalah tindakan melanggar hukum. Tetapi pelakunya tidak tampak. Pelakunya tidak atau belum serta-merta bisa dikenali dan ditindak. Padahal pada anggapan publik berdasarkan indikasi-indikasi dan preseden, pelaku termasuk aktor intelektualnya tampak cukup jelas.

PADA adegan pertama, yakni pendapat dan sikap pasangan capres terhadap perkara Gubernur Nanggroe Aceh, publik puas dan karena itu bertepuk tangan, meskipun juga baru sebatas pernyataan. Pada adegan yang pertama, perkara dan sosok pelakunya, gara-gara tindakan KPK menjadikan tersangka sebagai terdakwa, kendati ia pejabat negara, menghadirkan kelegaan. Kelegaan awal.

Pada peristiwa kedua dan ketiga, pembakaran hutan dan penyelundupan gula, kelegaan publik belum disulut. Masih menanti dengan harap-harap cemas. Ada kesenjangan yang dramatis antara sosok isyarat dan barang bukti, yakni asap berikut akibatnya yang buruk serta gundukan karung gula di gudang juga berikut akibatnya yang buruk.

PESAN apa yang ingin disampaikan? Keterbukaan perkara-perkara korupsi, kolusi, dan pelanggaran hukum karena demokrasi dan karena kehadiran media massa amat mencuat. Sangat menonjol. Ibarat berteriak-teriak minta perhatian. Bayangkan apa akibatnya jika di-cuekin oleh pejabat dan lembaga yang bertanggung jawab. Akan menimbulkan kekecewaan, frustrasi, kecil hati, dan redup harapan. Agar diingat juga, keterbukaan itu kini global, ke semua negara lewat teknologi informasi. Pada waktu yang sama, tidaklah mungkin, semua kejadian negatif itu dibiarkan oleh kekuasaan dan pejabatnya

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Angka Kemiskinan Pascapemilu

Posted on May 10, 2007. Filed under: Tulisan Koran |

Seperti ditulis dalam Media Indonesia 14 Juli 2004
(http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004071400591719)

PEMILU putaran pertama pemilihan presiden di republik ini telah usai. Perhitungan sementara menunjukkan bahwa pasangan SBY-Kalla serta Mega-Hasyim yang akan melaju ke putaran kedua. Putaran yang akan menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin Indonesia. Kita akan kembali diingatkan janji dan mimpi calon pemimpin termasuk janji untuk menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia.

Visi dan misi calon presiden dan calon wakil presiden tidak terlepas dari indikator keberhasilan yang dapat dijadikan penilaian oleh masyarakat ketika mereka akan memimpin kelak. Mengenai indikasi keinginan menurunkan tingkat kemiskinan, kedua kandidat ini secara eksplisit menyebutkannya. Rekomendasi Lima sebagai program yang ingin dicapai oleh Mega-Hasyim dalam lima tahun ke depan, menargetkan untuk mengurangi tingkat kemiskinan hingga 45%. Dalam visi dan misi SBY-Kalla, pasangan tersebut menargetkan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 17%.

Terlepas dari berat atau tidaknya target tersebut untuk dicapai, tindakan untuk mencantumkan target tersebut merupakan langkah berani dan progresif dalam penilaian keberhasilan pemimpin di Indonesia.

Angka kemiskinan

Angka kemiskinan yang umumnya kita ketahui merupakan suatu indeks yang disebut Headcount Index. Indeks ini mengukur persentase jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk total di suatu wilayah. Penduduk dikategorikan miskin jika memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan. Karena itu, Headcount Index mengukur persentase jumlah penduduk yang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan terhadap jumlah penduduk total.

Berapakah jumlah pendapatan per bulan yang menjadi nilai garis kemiskinan di Indonesia? Menurut BPS, penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin pada 2003 adalah penduduk yang memiliki nilai pendapatan per bulan sekitar Rp139 ribu (di perkotaan) dan Rp107 ribu (di pedesaan). Garis kemiskinan 2003 ini tumbuh sekitar 6,36% dan 10,53% dibandingkan 2002, di mana garis kemiskinan 2002, nilai pendapatannya sekitar Rp130 ribu (di kota) dan Rp97 ribu (di desa).

Terlepas dari kontroversi yang ada tentang kecilnya pendapatan tersebut, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan bahwa penduduk kota disebut miskin jika memiliki pendapatan di bawah Rp139 ribu per bulan serta penduduk desa disebut miskin jika memiliki pendapatan di bawah Rp107 ribu per bulan. Angka kemiskinan merupakan persentase penduduk miskin tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk total.

Penurunan kemiskinan

Setelah mengetahui dasar perhitungan angka kemiskinan di atas, kita lihat kembali target penurunan kemiskinan yang ingin dicapai oleh Mega-Hasyim dan SBY-Kalla. Sebelumnya, target ini tentunya akan bersifat multiinterpretatif mengenai waktu pencapaiannya. Apakah pada tahun pertama atau pada akhir periode pemerintahan yaitu 2009? Penulis menganggap bahwa target tersebut ingin dicapai pada 2009, yaitu pada akhir periode.

Persoalan kedua yang menimbulkan potensi multiinterpretatif dari target tersebut adalah dasar penilaian tahun dasar dari target tersebut. Penulis menganggap bahwa dasar penilaian adalah data terakhir tentang angka kemiskinan yaitu pada 2003, sehingga salah satu indikator keberhasilan dari kedua pasangan capres dan cawapres ini adalah turunnya angka kemiskinan sebesar 45% dan 17% dari angka kemiskinan pada 2003.

Pertanyaan berikutnya berapakah angka kemiskinan pada 2003? BPS, sebagai badan statistik resmi pemerintah, mencatat bahwa angka kemiskinan pada 2003 sebesar 17,4%. Artinya, jumlah penduduk miskin, yang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan, sekitar 17,4% dari total penduduk Indonesia.

Karena itu, jika Mega-Hasyim ingin mengurangi kemiskinan sebesar 45%, maka angka kemiskinan di Indonesia hanya akan tinggal sekitar 9,57%. Pada sisi yang lain, target SBY-Kalla akan tercapai ketika angka kemiskinan di Indonesia turun menjadi sekitar 14,44%.

Jika kita bandingkan dengan 2002, angka kemiskinan 2003 tersebut telah berkurang sebesar 0,8%. Jika pola ini kita terapkan, maka dalam lima tahun kemiskinan hanya akan berkurang sebesar 4%. Artinya, angka kemiskinan turun menjadi sebesar 13,4%; lebih besar dibandingkan target Mega-Hasyim dan lebih kecil jika dibandingkan dengan target SBY-Kalla.

Tentunya pola ini akan memberikan kesimpulan yang tidak realistis dari target tersebut. Namun, penurunan kemiskinan tidak terlepas dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Angka kemiskinan yang hanya turun sebesar 0,8% dari 2002 ke 2003 tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 4,1%. Jika tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dapat lebih tinggi dari angka tersebut dan distribusi pendapatan tidak memburuk, dimungkinkan target tingkat kemiskinan tersebut dapat tercapai.

Hasil simulasi yang dilakukan oleh LPEM FEUI (2004) menunjukkan bahwa dengan asumsi tingkat pertumbuhan pada kisaran 4,6% hingga 6% dari 2004 hingga 2009, serta tingkat inflasi yang sama dengan 2003 (untuk 2004 dan 2005) dan 6% untuk 2006 hingga 2009, maka tingkat kemiskinan akan dapat berkurang bahkan lebih rendah dari target yang ditentukan oleh Mega-Hasyim. Namun, jika tingkat pertumbuhan ekonomi lebih rendah 1% serta ketidakmerataan yang semakin buruk dari asumsi tersebut, maka target tersebut tidak akan dapat tercapai.

Tantangan dan prasyarat

Bagaimana tantangan ke depan dalam mencapai kondisi yang mendukung penurunan tingkat kemiskinan tersebut? Terdapat sejumlah prasyarat yang harus ada untuk mencapai target penurunan kemiskinan. Pertama, dibutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sekitar 6% – 7% seperti sebelum krisis. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, diperlukan rasio investasi per PDB sekitar 30%. Padahal, tingkat investasi saat ini baru mencapai sekitar 17% dari PDB.

Dalam usaha meningkatkan investasi, dibutuhkan iklim investasi yang mendukung. LPEM FEUI (2001) mensinyalir tidak kondusifnya iklim investasi yang salah satunya ditunjukkan oleh masih tingginya pungutan liar yang dapat mengganggu iklim investasi. Pungutan tersebut bahkan mencapai sekitar 9% – 11% dari total biaya produksi perusahaan, dan usaha kecil menengah menanggung pungutan yang relatif lebih besar dibandingkan usaha besar. Padahal, usaha kecil menengah merupakan salah satu penyangga dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Ke depan, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi.

Prasyarat kedua yang dibutuhkan untuk menurunkan tingkat kemiskinan adalah rendahnya tingkat inflasi. Studi LPEM menunjukkan bahwa inflasi Indonesia dominan dipengaruhi oleh nilai tukar (sekitar 30%). Karena itulah, pemerintah yang akan datang dihadapkan oleh tantangan untuk menstabilkan nilai tukar. Kita semua mengetahui bahwa nilai tukar ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor domestik tetapi juga faktor eksternal yang berada di luar kontrol pemerintah, seperti kebijakan Bank Sentral AS untuk meningkatkan suku bunga yang langsung mengubah ekspektasi pasar. Stabilisasi nilai tukar merupakan pekerjaan rumah yang sangat berat bagi siapa pun yang akan menjadi presiden.

Prasyarat ketiga yang dibutuhkan adalah semakin baiknya distribusi pendapatan. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, bahwa distribusi pendapatan yang semakin tidak merata akan semakin meningkatkan jumlah penduduk miskin. Bank Dunia (2003) mencatat bahwa distribusi pendapatan di Indonesia, yang ditunjukkan oleh Koefisien Gini, cenderung memburuk pada 2002 dan 2003.

Kalau merujuk pada studi LPEM, bahwa ketidakpastian iklim investasi di luar Jawa lebih tinggi daripada di Jawa yaitu pungutan liar di luar Jawa lebih besar daripada di Jawa. Kalau kondisi ini terus berlangsung dapat diprediksikan bahwa ke depan kesenjangan distribusi pendapatan antara Jawa dan luar Jawa akan terus berlangsung. Selain itu, pemerintah mendapatkan sejumlah celah untuk mengatasi kesenjangan pendapatan tersebut antara lain melakukan reformasi agraria, meningkatkan akses kredit, dan memperbaiki akses terhadap pendidikan.

Sebagai penutup, inti dari pemberantasan kemiskinan bukanlah sekadar berbicara tentang angka-angka. Kemiskinan memerlukan perhatian yang lebih dan usaha yang konsisten dari pemerintah. Yang terpenting adalah bagaimana prasyarat seperti yang dinyatakan di atas dapat tercapai. Mudah-mudahan pemilihan presiden pada putaran kedua nanti akan menghasilkan setitik harapan bagi republik. Mudah-mudahan pula masyarakat semakin rasional dalam menentukan pilihannya

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Dampak Pemekaran Daerah terhadap APBN

Posted on May 10, 2007. Filed under: Tulisan Koran |

Seperti yang tertulis di Media Indonesia tanggal 4 Agustus 2004
(http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004080400261126)

BELUM lama berselang, Presiden melalui Menteri Dalam Negeri meresmikan provinsi baru yaitu Provinsi Kepulauan Riau. Baru-baru ini kita juga mendengar sejumlah tuntutan agar dibentuk provinsi Sulawesi Timur yang beribukota di Poso. Tuntutan semacam ini sering kita dengar sejak adanya implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Dampak dari pemekaran daerah ini adalah, jumlah pemerintah daerah baru di Indonesia berkembang sangat fantastis dan cenderung ‘berlebihan’. Tulisan ini akan mengungkapkan lebih jauh dampak pemekaran pemerintah daerah ini terhadap beban APBN.

Berapa jumlah provinsi di Indonesia? Dahulu, pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab yaitu 27 provinsi termasuk Timor Timur. Namun, sejak adanya UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, makin sulit untuk menjawab pertanyaan tadi. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat bingung dengan pesatnya peningkatan jumlah pemerintah daerah baru. Pada 2001, kabupaten/kota di Indonesia berjumlah 336 (di luar DKI Jakarta) dengan 30 provinsi (bertambah empat provinsi baru). Jumlah ini meningkat hingga awal 2004 terdapat 32 provinsi dengan 434 kabupaten/kota.

Tak dapat dimungkiri bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan tekanan terhadap APBN karena adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerintah pusat untuk membuat kriteria yang jelas dan tegas dalam menyetujui pemekaran pemerintah daerah baru.

Berhubungan dengan kriteria tersebut, pemerintahan Presiden Gus Dur pada akhir 2000 telah mengeluarkan PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa daerah dapat dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat antara lain: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Namun, kriteria tersebut dirasakan kurang bersifat operasional misalnya dalam bentuk standardisasi berapa besar nilai setiap indikator, sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan. Selain itu, prosedur pemekaran berdasarkan hasil penelitian oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut, mengandung potensi yang besar pula untuk suatu ‘tindakan manipulasi’.

Sudah menjadi rahasia umum, dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan timbul posisi dan jabatan baru. Dan ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini tentunya tidak terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah.

APBN dan transfer

Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam.

Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.

Akan tetapi, hal ini menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai.

Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada masyarakat. Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit.

Pada 2003, daerah hasil pemekaran 2002 sebanyak 22 kabupaten/kota baru telah menerima DAU Rp1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini tentunya juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga memiliki potensi yang besar pula terjadinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban APBN bertambah dengan adanya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran ini.

Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemerintah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk DAK nondana reboisasi. Salah satu jenis dari DAK non-DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana pemerintahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp88 miliar hanya untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau setiap daerah pemekaran akan mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar.

Jumlah itu terus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp228 miliar. Terlihat jelas bahwa setiap ada pemekaran daerah, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah provinsi. Fakta telah menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota di provinsi baru tersebut.

Penjelasan singkat di atas mengembalikan kita kepada konsep dasar dalam ilmu ekonomi, yaitu opportunity cost. Jelas, bahwa adanya pemekaran telah menimbulkan opportunity cost yang sangat besar pada penyediaan infrastruktur dan pelayanan kepada masyarakat. Kita semua menyadari bahwa pembangunan di daerah bukanlah pembangunan aparat pemerintah daerah, melainkan merupakan pembangunan masyarakat daerah secara keseluruhan.

Pemerintah pusat perlu mengambil tindakan segera untuk menghentikan tuntutan pemekaran daerah yang sangat tidak terkendali ini. Jika pemekaran daerah tidak didasarkan pada kriteria yang tegas dan terukur, maka kondisi hanya menciptakan komoditas dagangan politik belaka. Sudah saatnya pemerintahan di Indonesia mengalokasikan dananya yang sangat terbatas tersebut kepada sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan peningkatan standar kehidupan masyarakat

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...